Oleh Muhammad Roqib*)
Saat musim kemarau saya suka jalan-jalan di tepian Sungai Bengawan Solo. Pagi hari sungai itu terlihat indah. Sungai itu berkelok dan di tepiannya tumbuh subur bermacam tanaman seperti jagung, kedelai, cabai dan kacang tanah. Sesekali perahu kayu terlihat mengangkut orang, sepeda motor, dan berbagai barang dagangan menyeberangi sungai. Pemandangan yang sungguh indah.

Saat musim kemarau dasar sungai terlihat jelas. Endapan pasir halus dan batu-batuan terlihat bertonjolan. Air sungai bening dan mengalir dengan tenang. Burung dadali sering terlihat berterbangan di atas sungai lalu sesekali menukik turun dan minum. Saya dan mungkin warga lainnya yang tinggal di dekat sungai hidup dan berdampingan dengan sungai terpanjang di Pulau Jawa itu. Bahkan mungkin terlalu banyak manfaat dari keberadaan sungai itu. Pasir di sungai itu kita keduk lalu jadi bahan dasar untuk tembok atau dinding rumah kita. Lempung endapan sungai dibuat batu bata merah lalu kita pakai untuk membangun rumah kita. Air Bengawan Solo juga kita olah menjadi air minum yang setiap hari kita minum. Air sungai itu juga dimanfaatkan oleh para petani untuk mengairi sawahnya yang berada di dekat sungai.

Bukan hanya itu saja, sebagian warga yang tinggal di dekat sungai juga bergantung hidup dari sungai. Warga yang menjadi nelayan setiap hari menjaring dan menangkap ikan di sepanjang aliran sungai. Mereka menangkap ikan naik perahu-perahu kecil. Bermacam ikan hidup dan berkembangbiak di sungai seperti ikan jambal, jendil, rengkik, wader, udang, gloso, dan lainnya. Saya suka ikan seperti wader atau jambal itu. Kalau digoreng garing lalu dimakan dengan sambal pedas dan kemangi rasanya gurih dan lezat.

Tanah di tepian Bengawan Solo juga sangat subur. Tekstur tanahnya berlempung dan berpasir. Tekstur tanah seperti itu cocok ditanami tanaman hortikultura seperti belimbing, jagung, kedelai, dan umbi-umbian. Warga Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, misalnya berhasil mengembangkan sentra buah belimbing di daerah dekat aliran Bengawan Solo itu. Warga bisa hidup makmur dari hasil buah belimbing itu.

Namun, saat musim hujan lain lagi ceritanya. Warga yang tinggal di dekat Bengawan Solo terkadang waswas. Warga khawatir kalau air Bengawan Solo dan anak sungainya meluap lalu menggenangi dan menyeret apa saja yang dilaluinya. Banjir luberan Bengawan Solo sering terjadi di daerah Kecamatan Ngraho, Padangan, Purwosari, Kalitidu, Kota Bojonegoro, Kapas, Balen, Kanor, Sumberejo, hingga Baureno. Banjir luapan Bengawan Solo dan anak sungainya selalu datang saat musim hujan.

Bukan hanya kerugian material seperti tanaman padi yang rusak tergenang banjir atau hewan ternak yang hanyut terseret banjir saja melainkan banjir juga sering menelan korban jiwa. Setiap kali terjadi banjir luapan Bengawan Solo, pemerintah Bojonegoro berusaha maksimal menanggulanginya, mengevakuasi warga dari lokasi banjir hingga membuat tenda-tenda pengungsian. Bantuan berupa makanan dan obat-obatan juga selalu mengalir pada korban banjir. Setiap kali ada banjir, bantuan juga selalu datang.

Banjir Bengawan Solo seolah tidak bisa dihindari saat memasuki musim hujan. Bagaimana mengatasinya?. Pemerintah sepertinya sudah berupaya membuat banyak rencana untuk mengatasi banjir Bengawan Solo. Tetapi, mengatasi banjir Bengawan Solo memang tidak mudah. Banjir Bengawan Solo melibatkan banyak sektor, banyak unsur, pemerintah dan juga masyarakatnya. Banjir Bengawan Solo harus diatasi sejak dari hulu sungai. Percuma kalau di daerah hilir dibuat embung atau waduk sebanyak-banyaknya tetapi kalau di daerah hulu terjadi kerusakan hutan dan kerusakan alam, maka banjir tetap akan mengalir deras ke daerah hilir sungai.

Karakter banjir Bengawan Solo juga tidak sama dengan banjir luapan sungai yang terjadi di daerah lain. Kali Ciliwung di Jakarta misalnya sering menyebabkan banjir karena sungai itu penuh dengan sampah. Warga yang hidup dan tinggal di pinggiran sungai seenaknya membuang sampah di Kali Ciliwung. Kali itu seperti berubah menjadi tong sampah raksasa. Akibatnya, saat terjadi hujan dan ada air kiriman dari Bogor langsung saja Kali Ciliwung meluap meluber menggenangi daerah di sekitarnya. Begitu pula Kalimas di Surabaya. Kalimas lebih sering terlihat kotor dan kumuh. Tumpukan sampah plastik, botol minuman, kardus, dan lainnya sering terlihat mengapung terseret arus aliran sungai. Pemerintah Kota Surabaya memang banyak melakukan upaya membersihkan dan menjernihkan Kalimas supaya enak dilihat. Tetapi, upaya itu belum banyak membuahkan hasil. Kondisi Kali Brantas yang mengalir di Malang juga tidak jauh berbeda. Banyak permukiman kumuh berderet di tepian Kali Brantas itu. Warga juga seenaknya membuang sampah rumah tangga di sepanjang Kali Brantas itu. Akibatnya, Kali Brantas yang airnya mengalir deras itu lebih sering terlihat kotor dan kumuh.

Untunglah Sungai Bengawan Solo tidak berada di daerah perkotaan seperti Jakarta atau Surabaya. Bengawan Solo jarang terlihat kotor atau kumuh. Daerah di tepian sungai jarang dijadikan tempat tinggal oleh warga. Tumpukan sampah dalam jumlah banyak juga jarang terlihat di sungai itu. Tetapi keindahan dan kealamian Sungai Bengawan Solo itu harus terus menerus dijaga dan dirawat. Sungai Bengawan Solo itu adalah bagian dari kehidupan dan hidup kita. Bengawan Solo akan terus mengalir sampai jauh dan sampai lama. Salam
 
*) Penulis adalah jurnalis dan juga warga yang tinggal di dekat Bengawan Solo.

0 komentar:

Posting Komentar